Minggu, 17 November 2013

SEPERTI RODA BERPUTAR




Review Lea Jellinek Seperti Roda Berputar

Kebun kacang, sebuah potret kehidupan di belahan Jakarta tempo dulu. Disini kita akan menyelami lebih jauh mengenai sebuah kampung di tengah – tengah hiruk pikuk kehidupan kota. Sebutan Kebun Kacang oleh penduduk sekitar, karena kesuburan tanahnya yang banyak dengan hasil bumi. Sebuah kampung di pinggiran kota yang penuh misteri, cerita memilukan, denyut nadi masyarakat miskin kota dan tempat lahirnya masyarakat komunal yang heterogen. plural, dan marginal. Semua berawal pada sekitar tahun 1930an, ketika Kebun Kacang digambarkan sebagai wilayah yang berdiri di pinggiran kota modern Jakarata. Wilayah yang subur dengan tumbuhan sayur berubah menjadi kota gubug, karena tidak bisa menahan derasnya arus urbanisasi akibat pembangunan yang tidak merata di desa.
Penduduk yang mendiami Kebun Kacang adalah pendatang yang memerlukan lebih banyak pekerjaan daripada yang mereka dapatkan di desa, selain warga asli. Mereka juga mengklaim menguasai wilayah ini karena sudah menempatinya berpuluh – puluh tahun. Alasanya banyak, penduduk seperti Ibu Chia yang merasa rumah yang dihuninya berdiri atas hak tanah yang mereka miliki, bahkan sejak tahun 1930. Jadi tidak ada pembenaran bagi siapa pun melakukan pemaksaan untuk mengusir mereka dari kampungnya sendiri. Mereka juga mengaku selalu membayar pajak retribusi kepada pejabat pusat agar tanahnya tidak disita oleh negara. Padahal, sebagian dari mereka menempati tanah negara.
Motivasi para pendatang merantau ke Jakarta adalah untuk mencari taraf kehidupan lebih baik, kebanyakan mereka berprofesi sebagai pembantu rumah tangga, penjaga parkir, tukang cuci, tukang becak, penjual warung, dan petani. Tetapi ada juga yang menjadi majikan seperti yang di lakoni oleh Haji Yusuf, yang mempunyai buruh lepas. Kerjanya mengurusi sebidang tanah yang sudah ditanami hasil pertanian, dan menjualnya ke pasar ataupun tetangga yang memerlukan dagangannya untuk kebutuhan hidup sehari – hari. Pegawai Haji Yusuf sendiri adalah sanak familinya yang memerlukan pekerjaan lebih baik, yang tidak mereka dapatkan di desa, dan juga tergiur dengan upah yang tinggi jika mereka bekerja di Jakarta. Walaupun Haji Yusuf pada awalnya memberi hak buruh dengan membagi – bagikan hasil pertaniannya, karena tekanan koloni Belanda yang pada waktu itu menguasai Kebun Kacang.
Awal kehidupan di Kebun Kacang bisa dibilang cukup menyenangkan, walaupun tidak sepenuhnya benar – benar nyaman. Maklum, Kebun Kacang pada tahun 1930 adalah daerah bekas jajahan Belanda, dan setelah itu beralih ke tangan Jepang yang gantian menguasai Kebun Kacang. Banyak warga asli atau - yang sudah lama menempati Kebun Kacang – berperang dengan tentara Belanda guna mempertahankan wilayahnya dari invasi Belanda dan Jepang. Permukiman yang dibangun di Kebun Kacang kebanyakan seperti bangunan gubug, atau mereka menyebutnya sebagai kampung kumuh. Karena berukuran 3x1 meter, dan kelihatan seperti kandang kambing, dan terbuat dari kayu reot, dan bambu sisa peperangan.
Perubahan sosial yang berlangsung di Kebun Kacang memunculkan berbagai pilihan bagi penduduk, diantaranya pekerjaan di sektor informal dan formal. Dan ada juga penduduk yang menjadi pegawai pemerintah dan swasta. Efek ekonomi dan sosial dari menjamurnya pekerjaan, penduduk, pembangunan, di Kebun Kacang adalah menurunnya angka pengangguraan, anak – anak dapat sekolah, penduduk banyak merenovasi rumahnya, dan apa yang disebut dengan multi player effect. Seperti, warung, restoran kecil,dan jenis usaha kecil lain. Namun, tidak semua penduduk miskin. Ada Ibu Cia, yang mempunyai rumah dengan ukuran lebih baik dan di dukung dengan pekarangan luas, berikut tanaman sayur yang berada di belakang rumah. Mungkin yang paling besar dibanding tempat tinggal penduduk yang lainnya. Hubungan sosial antara penduduk asli dengan pendatang sangat kekeluargaan, masing – masing menunjukkan sikap penuh persaudaraan.Walaupun secara tingkat status sosial berbeda, tidak ada yang merasa dirinya lebih makmur di banding yang lain. Sistem kekerabatan begitu mengental karena pengaruh budaya yang dibawa oleh masing – masing keluarga. Jadi tidak ada permusuhan, yang satu merasa lebih tinggi, secara ekonomi dengan yang lain. Masing – masing keluarga dengan kelebihan secara materi membantu kesulitan atau kesusahan yang dialami oleh tetangganya.
Namun, seiring berjalannya waktu apalagi dibarengi oleh beban hidup dan tekanan penguasa. Telah terjadi dekadensi hubungan sosial masyarakat, yang tadinya penuh dengan sistem kekerabatan, solidaritas sosial yang tinggi, dan perasaan senasib, telah merubah pola interaksi sosial, dan juga ruang – ruang sosial semakin tertutup oleh keegoisan masyarakat kelas menengah ( kota ). Mereka menutup diri dengan cara membangun rumah lebih luas dan tinggi, agar menghindar keluhan warga kampung yang sering meminta – minta bantuan materi untuk bertahan hidup. Mulai saat itu masing – masing dari mereka mulai menanggalkan kerjasama yang selama ini menyatukan mereka, yang ada sekarang adalah bagaimana mencari dan memanfaatkan peluang guna melangsungkan hidup yang semakin berat saja.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti makan, memperbaiki rumah, dan menyekolahkan anak, mereka memanfaatkan kelonggaraan yang diberikan oleh pemerintah kota untuk mendapatkan pekerjaan mereka. Bahkan Ibu Innah mengajak saudaranya yang ada di desa untuk datang ke Jakarta dan mulai mencari makan dan pekerjaan yang sama sekali tidak tersedia di desa, dan mereka tinggal di sebuah gubug tua di seberang sawah Kebun Kacang, dengan tujuh penghuni dan saling berdesak – desakkan hanya untuk melepas lelah. Mereka bekerja sebagai tukang ledeng, tukang sayur, penjual es krim, dan banyak lagi. Keterikatan sosial antara keluarga yang ada di kota dengan yang ada di desa sangatlah berarti, karena biasanya kedua – duanya saling membutuhkan.
Jadi yang terlihat di Kebun Kacang adalah fenomena migrasi besar – besaran, dan pengelompokkan sosial. Maksudnya adalah yang menjadi kelas pekerja adalah keluarga yang berasal dari keluarga yang sama. Tetapi, ada juga keluarga menengah yang mempekerjakan warga sekitar untuk menjadi pembantu rumah tangga, supir, tukang pencambut rumput, dan yang menjual hasil tanaman. Namun, itu tidak berlangsung lama sebab, banyak warga kampung yang mencuri barang milik majikannya. Sehingga mereka tidak dipekerjakan lagi dan kembali menjadi penganggur serta menambah beban hidup keluarganya, yang tidak mampu lagi memberi mereka makanan dan uang. Akibatnya muncul perselisihan antar keluarga.
Dari perselisihan keluarga, berkembang menjadi konflik keluarga yang tak pernah terselesaikan karena masing – masing pihak merasa berhak memiliki warisan keluarga. Pada akhir tahun 1950an, banyak lowongan kerja tersedia. Dan banyak pendatang memperlihatkan inisiatif dan usaha yang jauh lebih besar daripada para penduduk yang sudah menetap lama. Para pendatang baru belum siap untuk menerima pekerjaan tetap. Seperti yang dialami oleh Sumira yang mencoba melamar pekerjaan di instalasi rumah sakit, walaupun pada akhirnya suaminya, Junto, mengalihkan pekerjaan sebelumnya dan mencoba jenis pekerjaan lain untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik tentunya. Pada tahun itu juga, banyak warga kampung yang menjadi pedagang kaki lima ( PKL ), mereka berupaya untuk memperbaiki nasib mereka, dan mendapatkan pekerjaan yang mereka sukai. Transformasi sosial berperan sangat penting didalam merubah pola hidup dan cara berpikir warga kampung, penduduk kampung mengamati, bahwa meledaknya pembangunan pada masa Soekarno telah menggerakkan pusat kota secara cepat ke arah selatan, menuju Kebun Kacang.
Namun, dibalik pesatnya pembangunan yang terjadi di sekitar Kebun Kacang, masih ada problematika yang sepertinya sudah menjadi akar persoalan budaya di negeri ini. Bahwasanya perempuan dibatasi ruang geraknya oleh status sosial mereka sebagai istri, penjaga rumah. Kenyataan di sebagian penduduk Kebun Kacang masih banyak perempuan yang dibatasi perannya, dan hanya bekerja di wilayah domestik. Dan ketika suami mereka tidak mendapatkan sesuatu yang lebih baik, mereka pun puasa makan. Apalagi di tengah derasnya pembangunan menuntut siapa saja untuk memanfaatkan ketersediaan lapangan kerja demi kehidupan lebih baik. Diskriminasi sosial sangat terasa di Kebun Kacang ini, tingkat perceraian sangat tinggi, dan hubungan sosial makin renggang.
Penyebab dari diskriminasi sosial adalah hanya kaum menengah yang mendapat jatah hasil pembangunan, serta program penggusuran yang menjadi agenda rutin dari setiap kebijakan sosial penguasa, menghapus kesempatan penduduk Kebun Kacang untuk dapat menikmati hasil usahanya. Sehingga usaha kecil menengah yang sudah menjadi harapan banyak penduduk Kebun Kacang terpaksa mulai di lupakan, dan mereka kembali beralih ke pekerjaan semula sebagai tukang ojek, tukang becak, pembantu rumah tangga, penjual hasil tanaman, dan buruh bangunan. Ada sebuah keganjilan ketika para pendatang tidak bisa langsung mendapatkan pekerjaan, dikarenakan mereka tidak mampu bersaing dengan warga asli yang sudah lebih mapan dalam hal pengalaman, dan jaringan sosial.
Karena suami sudah tidak mampu menafkahi keluarga, terjadi perceraian dengan tingkat sangat tinggi. Atau juga karena suami mempunyai istri lebih dari satu, dan ada juga yang selingkuh lebih dari satu kali. Ada keunikan yang terjadi di penduduk Kebun Kacang, untuk mempertahankan kekerabatan, dan jaringan sosial,.mereka diperkenankan untuk saling menikahi antar satu saudara. Dan tidak melanggar norma sosial karena sesuai kesepakatan bersama. Namun, rentan perceraian karena sulitnya menjaga keharmonisan keluarga. Dari diskriminasi sosial dan perceraian di penduduk Kebun Kacang, ikut mempengaruhi hubungan sosial antara penduduk kampung dengan masyarakat menengah yang mengalami kemunduran yang sangat signifikan. Dulu pola hubungan sosial yang berlangsung di penduduk Kebun Kacang adalah saling membutuhkan antara warga asli dengan pendatang. Mereka hidup rukun dan saling kerjasama untuk meringankan kesusahan dan beban hidup yang semakin berat, jika hanya ditanggung sendirian. Dan juga pola hidup sederhana, artinya susah – senang ditanggung bersama.
Dan mereka saling menguatkan dengan ikatan tetangga, bukan ikatan kerabat. Maksudnya dengan ikatan tetangga, mereka bisa diandalkan karena sebagian penduduk Kebun Kacang mempunyai taraf kehidupan lebih baik. Beda dengan ikatan kerabat yang dari sisi ekonomi sama – sama susah. Pada tahun 1970an, perekonomian nasional membaik. itu dapat dilihat dari munculnya bangunan bertingkat, pertambahan penduduk yang dibarengi permintaan konsumsi yang tinggi, dan tingkat pertumbuhan ekonomi nasional bertambah. Tidak seperti tahun 1950 yang masih didominasi oleh kelas feodal, kali ini penduduk Kebun Kacang dapat sepenuhnya berpartisipasi lewat kebijakan pemerataaan pembangunan dari sektor pertanian, dan formal.
Namun, kenapa pesatnya pembangunan tidak dibarengi dengan pemerataan hasil pembangunan. Terjadi kesenjangan sosial dan ekonomi, itu dapat dilihat dari keadaan penduduk Kebun Kacang yang mengalami sendiri sebelum dan sesudah pembangunan berlangsung. Pada tahun tersebut, penduduk Kebun Kacang menyebutnya sebagai zaman kurang ajar, dikarenakan frustrasinya penduduk Kebun Kacang, disebabkan ketidakmampuan mereka untuk memenuhi keinginan mereka yang semakin meningkat, tidak adanya perhatian antarsesama pada umumnya serta bertambahnya ketidaksamaan. Kesadaran untuk saling memperhatikan serta bermasyarakat, yang menjadi ciri lingkungan Kebun Kacang telah merosot.
Kekayaan menimbulkan rassa iri, dan juga menimbulkan keretakan hubungan di antara penduduk Kebun Kacang. Sangat miris ketika semua elemen penduduk Kebun Kacang dapat merasakan pola hidup sederhana, dimana tidak ada perbedaan antara si kaya dan si miskin, dan sikap tidak perduli. Tetapi, antara tahun 1968 – 1975 dapat dikatakan sebagai masa kemakmuran ekonomi penduduk Kebun Kacang yang belum pernah terjadi sebelumnya. Indikatornya banyak usaha kecil yabg dimulai pada zaman Soekarno berjalan dengan baik, dan pada tahun 1973, banyak penduduk Kebun Kacang merenovasi rumahnya, terutama pendatang. Akibat kecemberuan sosial ini, kaum pendatang memiliki taraf kehidupan lebih baik dibanding dengan warga asli. Pada akhir 1970 terjadi pasang surut ekonomi, banyak warga mengurung diri, lebih banyak diam dan menerima semua kemauan penguasa. Dan puncaknya pada awal 1980an, mereka penduduk Kebun Kacang yang rumahnya digusur atas nama pembangunan dianggap sebagai penghalang pembangunan. Akibat dari penggusuran itu banyak warga asli Kebun Kacang pindah ke pinggiran Jakarta.
Keadaan fisik Kebun Kacang setelah zaman pembangunan banyak mengalami perubahan, ada rumah yang bertingkat, tapi masih ada juga yang terbuat dari gubug. Ada yang sudah memiliki mobil, tetapi ada juga yang masih pakai becak untuk beraktivitas. Dan kalau dilihat dari kehidupan penduduknya, semakin lebar jurang kesenjangan sosial, atau kemiskinan yang dipelihara oleh negara. Apalagi ditambah dengan kebijakan untuk memindahkan penduduk dari tempat tinggalnya ke pinggiran kota atau disebut dengan kebijakan penggusuran. Itu dimulai pada awal tahun 1981, sebagai bentuk penindasan oleh penguasa kepada rakayatnya. Sebagaian penduduk Kebun Kacang tidak memiliki harapan positif terhadap pemerintah, pengalaman pahit sudah mengajarkannya untuk tidak lagi percaya lagi terhadap program pemerintah.
Sebagaian besar penduduk tidak tahu tentang adanya program – program kesejahteraan pemerintah dan bagaimana memahami mereka dapat memanfaatkannya. Salah satu program pendukung dari pemerintah untuk meningkatkan standar kehidupan adalah dengan program perbaikan kampung, untuk mengatasi permasalahan sosial di kampung itu. Salah satunya dengan perbaikan infrastruktur untuk menperbaiki sarana dan prasarana yang rusak akibat kurangnya sumber daya manusia, dukungan pemerintah, dan lahan yang sudah banyak ditempati untuk digunakan sebagai tempat tinggal. Dan juga untuk mencegah bahaya banjir. Program ini juga sebagai upaya mendukung pereknomian penduduk kampung yang banyak mengandalkan tersediannya sarana dan prasarana memadai.
Selain program kesejahteraan masyarakat, program lainnya yang langsung menyentuh kebutuhan hidup penduduk kampung adalah dengan pendidikan dan kesehatan. Untuk pendidikan, pemerintah kota memprioritaskan pendidikan yang tinggi kepada masyarakat, soalnya pendidikan adalah barang mahal karena membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Namun, ada kendala dalam tingkat pelaksanaan. Banyak penduduk lebih memilih menyekolahkan anaknya ke pesantren daripada ke pendidikan formal. Pertimbangannya karena pendidikan di pesanteran lebih baik dan lebih murah daripada di sekolah umum. Kesulitan lain yang harus diterima adalah masalah pendaftaran, yang prosedurnya terlalu rumit bagi penduduk tidak demikian di sekolah pesantren, mereka secara aktif mendatangi warga dan menampung anak – anak kampung dan tidak ada biaya pendaftaran
Untuk kebutuhan poko lainnya seperti kesehatan, pemerintah kota juga memberikan perhatian yang serius. Bentuk perhatiannya adalah dengan mendirikan pusat pelayanan kesehatan, klinik – klinik kesehatan, dan pemberian obat – obatan secara gratis. Namun, karena kurangnya sosialisasi dan penduduk kampung sudah terbiasa dengan obtan tradisional. Warga jadi enggan dan beralih ke cara penyenbuhan secara tradisional, karena lebih mudah di akses. Segala kebijakan sosial ataupun program yang diperuntukkan penduduk kampung jadi terasa hambar, karena penduduk kampung melihat tidak ada perubahan berarti. Saking bosannya dengan janji – janji pemerintah, di setiap pergelaran pemilihan umum hampir sedikt sekali yang berpartisipasi. Hampir dikatakan mereka sudah muak dengan pemerintah, sampai – sampai mereka tampaknya menutupi diri dari orang pemerintah.
Memang ada beberapa manfaat dari program pemerintah seperti, perbaikan kampung, kesehatan, dan pendidikan, tetapi tetap saja itu hanya berlangsung dalam sekejap, tidak berkelanjutan. Sebenarnya penduduk kampung mencoba memberikan masukan terhadap setiap kebijakan pemerintah, supaya efektif, dan hasilnya memang bisa bertahan lama. Salah satunya dengan kepemimpinan lokal, maksudnya yang menjadi penghubung antara pemerintah dan penduduk kampung adalah warga kampung sendiri yang lebih perduli dan merasakan penderitaan yang sama. Namun, saran dari penduduk kampung tidak di dengar oleh pemerintah, dan yang di tunjuk adalah warga kelas menengah yang tidak tahu persoalan di kampung kumh Kebun Kacang.
Para pemimpin informal, seperti ketua kampung, tidak digubris oleh pemerintah. Hasilnya penduduk kampung sudah tidak percaya lagi dengan pemimpin, dan pemerintah kota. Mereka secara tegas menolak setiap kebijakan yang menyangkut penduduk Kebun Kacang. Mereka berpandangan pemimpin pada masa itu lebih mengejar kepentingan sendiri, dan menjauhkan penduduk kampung dari kemajuan. Program penggusuran sebagai salah satu cara yang digunakan oleh pemerintah kota untuk mengatasi perkampungan kumuh dan memindahkan penduduk kampung ke flat – flat adalah bentuk imperialisme terhadap masyarakat marginal. Mereka digusur secara paksa dan tidak diberi ganti rugi. Cara – cara yang digunakan tidak memberi solusi konkret, memang pada awalnya pemerintah menawarkan flat sebagai tempat tinggal baru, tetapi lucunya penduduk kampung harus membayar tagihan dan sewa flat tersebut. Karena terdesak oleh kebutuhan, Ibu Sumira menjual perabotan rumahnya yang baru saja di beli dari hasil penjualan rumahnya, namun, karena sudah tidak mampu lagi membayar tagihan flat dan juga kebanyakan yang tinggal di flat adalah warga kelas menengah, dia merasa malu dan tertekan, akhirnya dia pun meninggal dunia. Mengenaskan!
Ada sebuah pertanyaan menggantung, bahwasanya kemiskinan struktural pada dasarnya diawali oleh ketidakberpihakkan terhadap rakyat kecil, dan di pelihara atau diciptakan oleh negara, dengan asumsi ketidakmampuan negara dalam mencegah dan mengatasi permasalahan sosial yang dialami sendiri oleh penduduk kampung Kebun Kacang. Bahwasanya penduduk Kebun Kacang kembali miskin adalah derita berkelanjutan yang sepertinya ada pembiaran secara organisasi dan sistem. Posisi tawar rakyat miskin tidak akan pernah kuat, jika pemimpinnya menomorduakan rakyat kecilnya dari keadilan sosial.

0 comments:

Posting Komentar