Review Lea Jellinek
Seperti Roda Berputar
Kebun kacang, sebuah
potret kehidupan di belahan Jakarta tempo dulu. Disini kita akan menyelami
lebih jauh mengenai sebuah kampung di tengah – tengah hiruk pikuk kehidupan
kota. Sebutan Kebun Kacang oleh penduduk sekitar, karena kesuburan tanahnya
yang banyak dengan hasil bumi. Sebuah kampung di pinggiran kota yang penuh
misteri, cerita memilukan, denyut nadi masyarakat miskin kota dan tempat
lahirnya masyarakat komunal yang heterogen. plural, dan marginal. Semua berawal
pada sekitar tahun 1930an, ketika Kebun Kacang digambarkan sebagai wilayah yang
berdiri di pinggiran kota modern Jakarata. Wilayah yang subur dengan tumbuhan
sayur berubah menjadi kota gubug, karena tidak bisa menahan derasnya arus
urbanisasi akibat pembangunan yang tidak merata di desa.
Penduduk yang mendiami
Kebun Kacang adalah pendatang yang memerlukan lebih banyak pekerjaan daripada
yang mereka dapatkan di desa, selain warga asli. Mereka juga mengklaim
menguasai wilayah ini karena sudah menempatinya berpuluh – puluh tahun.
Alasanya banyak, penduduk seperti Ibu Chia yang merasa rumah yang dihuninya
berdiri atas hak tanah yang mereka miliki, bahkan sejak tahun 1930. Jadi tidak
ada pembenaran bagi siapa pun melakukan pemaksaan untuk mengusir mereka dari
kampungnya sendiri. Mereka juga mengaku selalu membayar pajak retribusi kepada
pejabat pusat agar tanahnya tidak disita oleh negara. Padahal, sebagian dari
mereka menempati tanah negara.
Motivasi para pendatang
merantau ke Jakarta adalah untuk mencari taraf kehidupan lebih baik, kebanyakan
mereka berprofesi sebagai pembantu rumah tangga, penjaga parkir, tukang cuci,
tukang becak, penjual warung, dan petani. Tetapi ada juga yang menjadi majikan
seperti yang di lakoni oleh Haji Yusuf, yang mempunyai buruh lepas. Kerjanya
mengurusi sebidang tanah yang sudah ditanami hasil pertanian, dan menjualnya ke
pasar ataupun tetangga yang memerlukan dagangannya untuk kebutuhan hidup sehari
– hari. Pegawai Haji Yusuf sendiri adalah sanak familinya yang memerlukan
pekerjaan lebih baik, yang tidak mereka dapatkan di desa, dan juga tergiur
dengan upah yang tinggi jika mereka bekerja di Jakarta. Walaupun Haji Yusuf
pada awalnya memberi hak buruh dengan membagi – bagikan hasil pertaniannya,
karena tekanan koloni Belanda yang pada waktu itu menguasai Kebun Kacang.
Awal kehidupan di Kebun
Kacang bisa dibilang cukup menyenangkan, walaupun tidak sepenuhnya benar –
benar nyaman. Maklum, Kebun Kacang pada tahun 1930 adalah daerah bekas jajahan
Belanda, dan setelah itu beralih ke tangan Jepang yang gantian menguasai Kebun
Kacang. Banyak warga asli atau - yang sudah lama menempati Kebun Kacang –
berperang dengan tentara Belanda guna mempertahankan wilayahnya dari invasi
Belanda dan Jepang. Permukiman yang dibangun di Kebun Kacang kebanyakan seperti
bangunan gubug, atau mereka menyebutnya sebagai kampung kumuh. Karena berukuran
3x1 meter, dan kelihatan seperti kandang kambing, dan terbuat dari kayu reot,
dan bambu sisa peperangan.
Perubahan sosial yang
berlangsung di Kebun Kacang memunculkan berbagai pilihan bagi penduduk,
diantaranya pekerjaan di sektor informal dan formal. Dan ada juga penduduk yang
menjadi pegawai pemerintah dan swasta. Efek ekonomi dan sosial dari menjamurnya
pekerjaan, penduduk, pembangunan, di Kebun Kacang adalah menurunnya angka
pengangguraan, anak – anak dapat sekolah, penduduk banyak merenovasi rumahnya,
dan apa yang disebut dengan multi player effect. Seperti, warung, restoran
kecil,dan jenis usaha kecil lain. Namun, tidak semua penduduk miskin. Ada Ibu
Cia, yang mempunyai rumah dengan ukuran lebih baik dan di dukung dengan
pekarangan luas, berikut tanaman sayur yang berada di belakang rumah. Mungkin
yang paling besar dibanding tempat tinggal penduduk yang lainnya. Hubungan
sosial antara penduduk asli dengan pendatang sangat kekeluargaan, masing –
masing menunjukkan sikap penuh persaudaraan.Walaupun secara tingkat status
sosial berbeda, tidak ada yang merasa dirinya lebih makmur di banding yang
lain. Sistem kekerabatan begitu mengental karena pengaruh budaya yang dibawa
oleh masing – masing keluarga. Jadi tidak ada permusuhan, yang satu merasa
lebih tinggi, secara ekonomi dengan yang lain. Masing – masing keluarga dengan
kelebihan secara materi membantu kesulitan atau kesusahan yang dialami oleh
tetangganya.
Namun, seiring
berjalannya waktu apalagi dibarengi oleh beban hidup dan tekanan penguasa.
Telah terjadi dekadensi hubungan sosial masyarakat, yang tadinya penuh dengan
sistem kekerabatan, solidaritas sosial yang tinggi, dan perasaan senasib, telah
merubah pola interaksi sosial, dan juga ruang – ruang sosial semakin tertutup
oleh keegoisan masyarakat kelas menengah ( kota ). Mereka menutup diri dengan
cara membangun rumah lebih luas dan tinggi, agar menghindar keluhan warga
kampung yang sering meminta – minta bantuan materi untuk bertahan hidup. Mulai
saat itu masing – masing dari mereka mulai menanggalkan kerjasama yang selama
ini menyatukan mereka, yang ada sekarang adalah bagaimana mencari dan
memanfaatkan peluang guna melangsungkan hidup yang semakin berat saja.
Untuk memenuhi
kebutuhan hidup seperti makan, memperbaiki rumah, dan menyekolahkan anak,
mereka memanfaatkan kelonggaraan yang diberikan oleh pemerintah kota untuk
mendapatkan pekerjaan mereka. Bahkan Ibu Innah mengajak saudaranya yang ada di
desa untuk datang ke Jakarta dan mulai mencari makan dan pekerjaan yang sama
sekali tidak tersedia di desa, dan mereka tinggal di sebuah gubug tua di
seberang sawah Kebun Kacang, dengan tujuh penghuni dan saling berdesak –
desakkan hanya untuk melepas lelah. Mereka bekerja sebagai tukang ledeng,
tukang sayur, penjual es krim, dan banyak lagi. Keterikatan sosial antara
keluarga yang ada di kota dengan yang ada di desa sangatlah berarti, karena
biasanya kedua – duanya saling membutuhkan.
Jadi yang terlihat di
Kebun Kacang adalah fenomena migrasi besar – besaran, dan pengelompokkan
sosial. Maksudnya adalah yang menjadi kelas pekerja adalah keluarga yang
berasal dari keluarga yang sama. Tetapi, ada juga keluarga menengah yang
mempekerjakan warga sekitar untuk menjadi pembantu rumah tangga, supir, tukang
pencambut rumput, dan yang menjual hasil tanaman. Namun, itu tidak berlangsung
lama sebab, banyak warga kampung yang mencuri barang milik majikannya. Sehingga
mereka tidak dipekerjakan lagi dan kembali menjadi penganggur serta menambah
beban hidup keluarganya, yang tidak mampu lagi memberi mereka makanan dan uang.
Akibatnya muncul perselisihan antar keluarga.
Dari perselisihan
keluarga, berkembang menjadi konflik keluarga yang tak pernah terselesaikan
karena masing – masing pihak merasa berhak memiliki warisan keluarga. Pada
akhir tahun 1950an, banyak lowongan kerja tersedia. Dan banyak pendatang
memperlihatkan inisiatif dan usaha yang jauh lebih besar daripada para penduduk
yang sudah menetap lama. Para pendatang baru belum siap untuk menerima
pekerjaan tetap. Seperti yang dialami oleh Sumira yang mencoba melamar
pekerjaan di instalasi rumah sakit, walaupun pada akhirnya suaminya, Junto,
mengalihkan pekerjaan sebelumnya dan mencoba jenis pekerjaan lain untuk
mendapatkan sesuatu yang lebih baik tentunya. Pada tahun itu juga, banyak warga
kampung yang menjadi pedagang kaki lima ( PKL ), mereka berupaya untuk
memperbaiki nasib mereka, dan mendapatkan pekerjaan yang mereka sukai.
Transformasi sosial berperan sangat penting didalam merubah pola hidup dan cara
berpikir warga kampung, penduduk kampung mengamati, bahwa meledaknya
pembangunan pada masa Soekarno telah menggerakkan pusat kota secara cepat ke
arah selatan, menuju Kebun Kacang.
Namun, dibalik pesatnya
pembangunan yang terjadi di sekitar Kebun Kacang, masih ada problematika yang
sepertinya sudah menjadi akar persoalan budaya di negeri ini. Bahwasanya
perempuan dibatasi ruang geraknya oleh status sosial mereka sebagai istri,
penjaga rumah. Kenyataan di sebagian penduduk Kebun Kacang masih banyak
perempuan yang dibatasi perannya, dan hanya bekerja di wilayah domestik. Dan
ketika suami mereka tidak mendapatkan sesuatu yang lebih baik, mereka pun puasa
makan. Apalagi di tengah derasnya pembangunan menuntut siapa saja untuk
memanfaatkan ketersediaan lapangan kerja demi kehidupan lebih baik.
Diskriminasi sosial sangat terasa di Kebun Kacang ini, tingkat perceraian
sangat tinggi, dan hubungan sosial makin renggang.
Penyebab dari
diskriminasi sosial adalah hanya kaum menengah yang mendapat jatah hasil
pembangunan, serta program penggusuran yang menjadi agenda rutin dari setiap
kebijakan sosial penguasa, menghapus kesempatan penduduk Kebun Kacang untuk
dapat menikmati hasil usahanya. Sehingga usaha kecil menengah yang sudah
menjadi harapan banyak penduduk Kebun Kacang terpaksa mulai di lupakan, dan
mereka kembali beralih ke pekerjaan semula sebagai tukang ojek, tukang becak,
pembantu rumah tangga, penjual hasil tanaman, dan buruh bangunan. Ada sebuah
keganjilan ketika para pendatang tidak bisa langsung mendapatkan pekerjaan,
dikarenakan mereka tidak mampu bersaing dengan warga asli yang sudah lebih
mapan dalam hal pengalaman, dan jaringan sosial.
Karena suami sudah
tidak mampu menafkahi keluarga, terjadi perceraian dengan tingkat sangat
tinggi. Atau juga karena suami mempunyai istri lebih dari satu, dan ada juga
yang selingkuh lebih dari satu kali. Ada keunikan yang terjadi di penduduk
Kebun Kacang, untuk mempertahankan kekerabatan, dan jaringan sosial,.mereka diperkenankan
untuk saling menikahi antar satu saudara. Dan tidak melanggar norma sosial
karena sesuai kesepakatan bersama. Namun, rentan
perceraian karena sulitnya menjaga keharmonisan keluarga. Dari
diskriminasi sosial dan perceraian di penduduk Kebun Kacang, ikut mempengaruhi
hubungan sosial antara penduduk kampung dengan masyarakat menengah yang
mengalami kemunduran yang sangat signifikan. Dulu pola hubungan sosial yang
berlangsung di penduduk Kebun Kacang adalah saling membutuhkan antara warga
asli dengan pendatang. Mereka hidup rukun dan saling kerjasama untuk
meringankan kesusahan dan beban hidup yang semakin berat, jika hanya ditanggung
sendirian. Dan juga pola hidup sederhana, artinya susah – senang ditanggung
bersama.
Dan mereka saling
menguatkan dengan ikatan tetangga, bukan ikatan kerabat. Maksudnya dengan
ikatan tetangga, mereka bisa diandalkan karena sebagian penduduk Kebun Kacang
mempunyai taraf kehidupan lebih baik. Beda dengan ikatan kerabat yang dari sisi
ekonomi sama – sama susah. Pada tahun 1970an, perekonomian nasional membaik.
itu dapat dilihat dari munculnya bangunan bertingkat, pertambahan penduduk yang
dibarengi permintaan konsumsi yang tinggi, dan tingkat pertumbuhan ekonomi
nasional bertambah. Tidak seperti tahun 1950 yang masih didominasi oleh kelas
feodal, kali ini penduduk Kebun Kacang dapat sepenuhnya berpartisipasi lewat
kebijakan pemerataaan pembangunan dari sektor pertanian, dan formal.
Namun, kenapa pesatnya
pembangunan tidak dibarengi dengan pemerataan hasil pembangunan. Terjadi kesenjangan
sosial dan ekonomi, itu dapat dilihat dari keadaan penduduk Kebun Kacang yang
mengalami sendiri sebelum dan sesudah pembangunan berlangsung. Pada tahun
tersebut, penduduk Kebun Kacang menyebutnya sebagai zaman kurang ajar,
dikarenakan frustrasinya penduduk Kebun Kacang, disebabkan ketidakmampuan
mereka untuk memenuhi keinginan mereka yang semakin meningkat, tidak adanya
perhatian antarsesama pada umumnya serta bertambahnya ketidaksamaan. Kesadaran
untuk saling memperhatikan serta bermasyarakat, yang menjadi ciri lingkungan
Kebun Kacang telah merosot.
Kekayaan menimbulkan
rassa iri, dan juga menimbulkan keretakan hubungan di antara penduduk Kebun
Kacang. Sangat miris ketika semua elemen penduduk Kebun Kacang dapat merasakan
pola hidup sederhana, dimana tidak ada perbedaan antara si kaya dan si miskin,
dan sikap tidak perduli. Tetapi, antara tahun 1968 – 1975 dapat dikatakan
sebagai masa kemakmuran ekonomi penduduk Kebun Kacang yang belum pernah terjadi
sebelumnya. Indikatornya banyak usaha kecil yabg dimulai pada zaman Soekarno
berjalan dengan baik, dan pada tahun 1973, banyak penduduk Kebun Kacang
merenovasi rumahnya, terutama pendatang. Akibat kecemberuan sosial ini, kaum
pendatang memiliki taraf kehidupan lebih baik dibanding dengan warga asli. Pada
akhir 1970 terjadi pasang surut ekonomi, banyak warga mengurung diri, lebih
banyak diam dan menerima semua kemauan penguasa. Dan puncaknya pada awal
1980an, mereka penduduk Kebun Kacang yang rumahnya digusur atas nama
pembangunan dianggap sebagai penghalang pembangunan. Akibat dari penggusuran
itu banyak warga asli Kebun Kacang pindah ke pinggiran Jakarta.
Keadaan fisik Kebun
Kacang setelah zaman pembangunan banyak mengalami perubahan, ada rumah yang
bertingkat, tapi masih ada juga yang terbuat dari gubug. Ada yang sudah
memiliki mobil, tetapi ada juga yang masih pakai becak untuk beraktivitas. Dan
kalau dilihat dari kehidupan penduduknya, semakin lebar jurang kesenjangan
sosial, atau kemiskinan yang dipelihara oleh negara. Apalagi ditambah dengan
kebijakan untuk memindahkan penduduk dari tempat tinggalnya ke pinggiran kota
atau disebut dengan kebijakan penggusuran. Itu dimulai pada awal tahun 1981,
sebagai bentuk penindasan oleh penguasa kepada rakayatnya. Sebagaian penduduk
Kebun Kacang tidak memiliki harapan positif terhadap pemerintah, pengalaman
pahit sudah mengajarkannya untuk tidak lagi percaya lagi terhadap program
pemerintah.
Sebagaian besar
penduduk tidak tahu tentang adanya program – program kesejahteraan pemerintah
dan bagaimana memahami mereka dapat memanfaatkannya. Salah satu program
pendukung dari pemerintah untuk meningkatkan standar kehidupan adalah dengan
program perbaikan kampung, untuk mengatasi permasalahan sosial di kampung itu.
Salah satunya dengan perbaikan infrastruktur untuk menperbaiki sarana dan
prasarana yang rusak akibat kurangnya sumber daya manusia, dukungan pemerintah,
dan lahan yang sudah banyak ditempati untuk digunakan sebagai tempat tinggal.
Dan juga untuk mencegah bahaya banjir. Program ini juga sebagai upaya mendukung
pereknomian penduduk kampung yang banyak mengandalkan tersediannya sarana dan
prasarana memadai.
Selain program
kesejahteraan masyarakat, program lainnya yang langsung menyentuh kebutuhan
hidup penduduk kampung adalah dengan pendidikan dan kesehatan. Untuk pendidikan,
pemerintah kota memprioritaskan pendidikan yang tinggi kepada masyarakat,
soalnya pendidikan adalah barang mahal karena membutuhkan biaya yang tidak
sedikit. Namun, ada kendala dalam tingkat pelaksanaan. Banyak penduduk lebih
memilih menyekolahkan anaknya ke pesantren daripada ke pendidikan formal.
Pertimbangannya karena pendidikan di pesanteran lebih baik dan lebih murah
daripada di sekolah umum. Kesulitan lain yang harus diterima adalah masalah
pendaftaran, yang prosedurnya terlalu rumit bagi penduduk tidak demikian di
sekolah pesantren, mereka secara aktif mendatangi warga dan menampung anak –
anak kampung dan tidak ada biaya pendaftaran
Untuk kebutuhan poko
lainnya seperti kesehatan, pemerintah kota juga memberikan perhatian yang
serius. Bentuk perhatiannya adalah dengan mendirikan pusat pelayanan kesehatan,
klinik – klinik kesehatan, dan pemberian obat – obatan secara gratis. Namun,
karena kurangnya sosialisasi dan penduduk kampung sudah terbiasa dengan obtan
tradisional. Warga jadi enggan dan beralih ke cara penyenbuhan secara
tradisional, karena lebih mudah di akses. Segala kebijakan sosial ataupun
program yang diperuntukkan penduduk kampung jadi terasa hambar, karena penduduk
kampung melihat tidak ada perubahan berarti. Saking bosannya dengan janji –
janji pemerintah, di setiap pergelaran pemilihan umum hampir sedikt sekali yang
berpartisipasi. Hampir dikatakan mereka sudah muak dengan pemerintah, sampai –
sampai mereka tampaknya menutupi diri dari orang pemerintah.
Memang ada beberapa
manfaat dari program pemerintah seperti, perbaikan kampung, kesehatan, dan
pendidikan, tetapi tetap saja itu hanya berlangsung dalam sekejap, tidak
berkelanjutan. Sebenarnya penduduk kampung mencoba memberikan masukan terhadap
setiap kebijakan pemerintah, supaya efektif, dan hasilnya memang bisa bertahan
lama. Salah satunya dengan kepemimpinan lokal, maksudnya yang menjadi
penghubung antara pemerintah dan penduduk kampung adalah warga kampung sendiri
yang lebih perduli dan merasakan penderitaan yang sama. Namun, saran dari
penduduk kampung tidak di dengar oleh pemerintah, dan yang di tunjuk adalah
warga kelas menengah yang tidak tahu persoalan di kampung kumh Kebun Kacang.
Para pemimpin informal,
seperti ketua kampung, tidak digubris oleh pemerintah. Hasilnya penduduk
kampung sudah tidak percaya lagi dengan pemimpin, dan pemerintah kota. Mereka
secara tegas menolak setiap kebijakan yang menyangkut penduduk Kebun Kacang.
Mereka berpandangan pemimpin pada masa itu lebih mengejar kepentingan sendiri,
dan menjauhkan penduduk kampung dari kemajuan. Program penggusuran sebagai
salah satu cara yang digunakan oleh pemerintah kota untuk mengatasi
perkampungan kumuh dan memindahkan penduduk kampung ke flat – flat adalah
bentuk imperialisme terhadap masyarakat marginal. Mereka digusur secara paksa
dan tidak diberi ganti rugi. Cara – cara yang digunakan tidak memberi solusi
konkret, memang pada awalnya pemerintah menawarkan flat sebagai tempat tinggal
baru, tetapi lucunya penduduk kampung harus membayar tagihan dan sewa flat tersebut.
Karena terdesak oleh kebutuhan, Ibu Sumira menjual perabotan rumahnya yang baru
saja di beli dari hasil penjualan rumahnya, namun, karena sudah tidak mampu
lagi membayar tagihan flat dan juga kebanyakan yang tinggal di flat adalah
warga kelas menengah, dia merasa malu dan tertekan, akhirnya dia pun meninggal
dunia. Mengenaskan!
Ada sebuah pertanyaan
menggantung, bahwasanya kemiskinan struktural pada dasarnya diawali oleh
ketidakberpihakkan terhadap rakyat kecil, dan di pelihara atau diciptakan oleh negara,
dengan asumsi ketidakmampuan negara dalam mencegah dan mengatasi permasalahan
sosial yang dialami sendiri oleh penduduk kampung Kebun Kacang. Bahwasanya
penduduk Kebun Kacang kembali miskin adalah derita berkelanjutan yang
sepertinya ada pembiaran secara organisasi dan sistem. Posisi tawar rakyat
miskin tidak akan pernah kuat, jika pemimpinnya menomorduakan rakyat kecilnya
dari keadilan sosial.